KORANBOGOR.com,JAKARTA-Presiden Joko Widodo kembali membuat kontroversi melalui pernyataannya pada 24 Januari 2024. Jokowi menyebut bahwa presiden dan menteri boleh kampanye,boleh berpihak. Secara lengkap, Presiden menyatakan, “Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja. Presiden itu boleh loh kampanye, boleh loh memihak.”
Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah Dr Trisno Raharjo SH MHum, menyatakan pernyataan ini langsung menimbulkan kontroversi di masyarakat. Meskipun pada kesempatan yang sama, Presiden Jokowi menggarisbawahi bahwa kampanye dimaksud tidak menggunakan fasilitas negara.
Pascakontroversi, Presiden Joko Widodo memberikan klarifikasi. Alih-alih meralat pernyataannya tersebut, Jokowi justru menyebut bahwa ucapannya sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dengan mengutip ketentuan Pasal 299 dan Pasal 281.
“Melihat pernyataan terakhir Presiden, terkesan bahwa yang beliau sampaikan ialah kebenaran yang harus didukung atau setidaknya tidak ditolak. Pernyataan dimaksud tidak lain merupakan upaya mencari pembenaran,” kata dia.
Atas hal tersebut, Muhammadiyah mencermati dari sudut pandang normatif. Benar Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden berhak melaksanakan kampanye. Namun demikian, ketentuan Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu tidak dapat dipandang sebagai norma yang terpisah dan tercerabut dari akar prinsip dan asas penyelenggaraan Pemilu yang di dalamnya terdapat aktivitas kampanye.
Pelaksanaan kampanye harus dipandang bukan hanya ajang memperkenalkan peserta kontestasi politik, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat. Hal itu sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu.
“Bagaimana mungkin pendidikan politik masyarakat akan tercapai jika Presiden dan Wakil Presiden (yang aktif menjabat) kemudian mempromosikan salah satu kontestan, dengan (sangat mungkin) menegasi kontestan lain?” kata Trisno. Dengan demikian, pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa Presiden dibenarkan secara hukum untuk melakukan kampanye dan berpihak merupakan pernyataan yang berlindung dari teks norma yang dilepaskan dari esensi kampanye dan Pemilu.
Baca juga: Bawaslu sudah Surati Presiden Jokowi soal Kampanye Pemilu
Kedua, dari sudut pandang filosofis. Presiden sebagai kepala negara ialah pemimpin seluruh rakyat. Pada dirinya ada tanggung jawab moral dan hukum dalam segala aspek kehidupan bernegara, termasuk Pemilu. Presiden berkewajiban memastikan penyelenggaraan pemilu yang berintegritas untuk memastikan penggantinya adalah sosok yang berintegritas. Selain itu, jabatan publik (terlebih Presiden yang merupakan pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi) terikat dengan prinsip dasar yang harus dipatuhi.
Pejabat publik disumpah untuk menjabat sepenuh waktu sehingga seharusnya tidak ada aktivitas lain selain aktivitas yang melekat pada jabatan. Berdasarkan hal di atas, secara filosofis posisi Presiden ialah pejabat publik yang terikat sumpah jabatan dan harus berdiri di atas dan untuk semua kontestan. “Dengan demikian, secara filosofis, aktivitas untuk kampanye sekali pun dilakukan saat cuti ialah tidak tepat,” kata Trisno.
Ketiga, dari sudut pandang etis (dan teknis), sumpah jabatan penyelenggara negara, termasuk presiden, ialah setia pada Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945. Kesetiaan ini harus diwujudkan dalam segala aktivitasnya. Bahkan, meskipun Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, saat dirinya menjabat menjadi Presiden, dirinya wajib tunduk pada rakyat bukan pada partai politik pengusung.
Di luar itu, Joko Widodo, selalu akan dipersonifikasi sebagai presiden dalam aktivitas apapun, bahkan aktivitas keseharian yang tidak ada kaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan sekali pun. Oleh karenanya, penyelenggaraan pemerintahan seperti pembagian bantuan sosial akan secara langsung maupun tidak langsung dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai bantuan Jokowi.
Ia menyebut, faktanya, kondisi ini diperparah dengan adanya kesengajaan dari Presiden dan sebagian menterinya untuk memosisikan bantuan sosial ini sebagai bantuan Jokowi. Atas dasar tersebut, Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah mengeluarkan enam poin dalam pernyataan sikapnya.
Satu, mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencabut semua pernyataannya yang menjurus pada ketidaknetralan institusi kepresidenan, terlebih soal pernyataan bahwa Presiden boleh kampanye dan boleh berpihak. Dua, meminta kepada Presiden untuk menjadi teladan yang baik dengan selalu taat hukum dan menjunjung tinggi etika dalam penyelenggaraan negara. Presiden harus menghindarkan diri dari segala bentuk pernyataan dan tindakan yang berpotensi menjadi pemicu fragmentasi sosial, terlebih dalam penyelenggaraan Pemilu yang tensinya semakin meninggi.
Tiga, meminta kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk meningkatkan sensitivitasnya dalam melakukan pengawasan, terlebih terhadap dugaan digunakannya fasilitas negara (baik langsung maupun tidak langsung) untuk mendukung salah satu kontestan Pemilu. Empat, menuntut kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperkuat peran pengawasan penyelenggaraan Pemilu, terutama terhadap dugaan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pemenangan satu kontestan tertentu.
Lima, meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mencatat setiap perilaku penyelenggara negara dan penyelenggara pemilu yang terindikasi ada kecurangan untuk dijadikan sebagai bahan/referensi memutus perselisihan hasil Pemilu. Sikap ini penting dilakukan oleh MK agar putusannya kelak yang bukan sekadar mengalkulasi suara (karena MK bukan Mahkamah Kalkulator) tetapi lebih jauh dari itu) untuk memastikan penyelenggaraan Pemilu telah berlangsung dengan segala kesuciannya. Tidak dinodai oleh pemburu kekuasaan yang menghalalkan segala cara.
Enam, mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama mengawasi penyelenggaraan pemilu, penyelenggara pemilu, dan utamanya penyelenggara negara. Pengawasan semesta ini diperlukan untuk memastikan Pemilu berlangsung secara jujur, adil, dan berintegritas agar diperoleh pimpinan yang legitimated dan berintegritas serta memastikan tidak ada penyalahgunaan kekuasaan dan fasilitas negara oleh penyelenggara negara.
Demikian pernyataan sikap Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat Muhammadiyah disampaikan. “Pernyataan sikap ini sekaligus sebagai upaya Muhammadiyah untuk senantiasa memberi solusi untuk negeri,” papar Trisno Raharjo.
Yang dilakukan Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia PP Muhammadiyah tersebut juga sejalan dengan yang pernah disampaikan oleh KH Ahmad Dahlan. “Aku berdoa, berkah, dan keridaan, serta limpahan rahmat karunia ilahi, agar Muhammadiyah tetap maju dan bisa memberikan manfaat bagi seluruh umat sepanjang sejarah dari zaman ke zaman, kata dia mengutip perkataan KH Ahmad Dahlan.