Pergulatan Tokoh-Tokoh Kemerdekaan serta Relevansinya untuk Indonesia Kini

Harus Baca

Webinar Nasional (10/8)

Pergulatan Tokoh-Tokoh Kemerdekaan serta Relevansinya untuk Indonesia Kini

Paramadina Institute of Ethics and Civilization (PIEC) menggelar webinar nasional bertajuk “Pergulatan Tokoh-Tokoh Kemerdekaan serta Relevansinya untuk Indonesia Kini (dari Haji Agus Salim, Soekarno, Hatta, Sjahrir, dll.) secara hibrid pada Kamis, 10 Agustus.

Acara tersebut dihadiri oleh enam orang narasumber di antaranya Pipip A. Rifai Hasan Ph.D (ketua PIEC), Sigid Edi Soetomo (tokoh Universitas Indonesia), Ir. Agus Tanzil Sjahroezah, MPA (Alumnus Harvard University), Dr. Herdi Sahrasad (Akademisi Universitas Paramadina), Gratia Wing Artha, MA (Sosiolog Unair), dan Dr. Al Chaidar (Akademik Unimal Aceh). Hadir pula Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini, Ph.D memberikan sambutan.

Didik menyambut dengan baik dan memberikan apresiasi atas terselenggaranya acara ini. Dalam sambutannya, Didik menyatakan bahwa saat ini tugas kita adalah mengisi dan merawat kebangsaan. Para pendiri bangsa telah memperjuangkan kemerdekaan, membangun nasionalisme dan melawan kolonialisme, sehingga saat ini tugas kita adalah merawat kebangsaan.

Pada kesempatan pertama, Pipip A. Rifai Hasan, Ph.D menguraikan pemikiran Syafruddin Prawiranegara dan menyoroti beberapa hal terkait dengan persoalan yang tengah dihadapi oleh Indonesia saat ini.

“Pertama, dalam pemikiran Syafruddin, keadilan sosial dan pembangunan ekonomi bergerak selaras. Keduanya tidak bisa diletakkan sebagai pilihan. Keadilan sosial adalah guidance principle yang mendasari pembangunan ekonomi yang harus dilakukan secara sejalan.” Paparnya.

Kedua, Pipip menjelaskan bahwa Syafruddin memberikan perhatian pada persoalan lingkungan. Menurutnya pemanfaatan hutan dan sumber-sumber alam tidak boleh dilakukan secara eksploitatif. Terkait persoalan ini kita memerlukan solusi untuk pengelolaan hutan yang lebih baik dan upaya pelestarian lingkungan.

“Persoalan ketiga yang menjadi sorotan adalah mengenai pembangunan moral dan etika. Menurutnya pembangunan yang komprehensif harus menyertakan prinsip-prinsip moral.” Tambahnya.

Dalam pemaparannya, Pipip menambahkan bahwa saat ini kekuasaan dan jabatan menjadi satu-satunya tujuan penyelenggaraan politik. Dengan pembangunan moral dan etika yang baik, ia berharap (1) timbul kesadaran untuk menjalankan kewenangan dengan baik dan menerima sanksi tegas untuk berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan, (2) jabatan tidak memberikan keuntungan yang berlebihan pada pemegang kekuasaan, dan (3) jabatan jangan dijadikan sebagai nilai tertinggi, padahal semestinya jabatan dijalankan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat.

Sigid Edi Soetomo, pada kesempatan kedua mengajak untuk melakukan retrospeksi atas perjalanan bangsa. Ia menilai bahwa saat ini bangsa tengah kehilangan nilai intelektual, nilai keakraban, dan ruang perdebatan yang sehat. Menurutnya tokoh-tokoh kebangsaan pada masa lalu dapat mengekspresikan perbedaan pendapat tanpa menghilangkan rasa keakraban.

“Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dan tidak perlu menjadi permusuhan di antara kelompok yang menyatakan perbedaan tersebut. Sigid melihat hal ini telah hilang dari pergulatan politik Indonesia saat ini.” Kata Sigid.

Selanjutnya, Ir. Agus Tanzil Sjahroezah, MPA menyatakan bahwa bangsa kita saat ini menghadapi kebodohan, kemiskinan, dan ketidakadilan. Menurutnya ketiga hal tersebut disebabkan oleh sistem pendidikan yang buruk dan penjajahan yang dilakukan elit melalui penguasaan undang-undang.

“Pertama, sistem pendidikan yang berjalan saat ini seharusnya dapat menumbuhkan nilai-nilai luhur di kalangan terdidik dan tidak sekadar melakukan transfer informasi. Kedua, menilai bahwa para elit saat ini sedang melakukan penjajahan sistemik melalui penguasaan dan manipulasi undang-undang sehingga kejahatan yang dilakukan menjadi kejahatan yang legal.” Terangnya.

Sependapat dengan pendapat tersebut, Dr. Herdi Sahrasad menyatakan bahwa persoalan yang ada saat ini adalah kemiskinan, ketertinggalan, dan kebodohan. “Terkait tiga hal tersebut, persoalan ada pada ketimpangan, baik pada sektor ekonomi maupun dalam hal penghayatan nilai. Dalam hal ekonomi, kekayaan hanya dikuasai oleh kelompok oligarki, sementara rakyat tetap miskin.”

Sementara dalam hal nilai, menurut Herdi bangsa saat ini tengah mengalami krisis nilai dan moral. Salah satu di antaranya disebabkan oleh minimnya penghayatan terhadap sejarah dan maknanya yang pada akhirnya melahirkan demoralisasi dan dekadensi. Nilai seharusnya dapat ditumbuhkan melalui pendidikan, tetapi ia melihat bahwa nilai-nilai luhur dan penghayatan historis tidak sepenuhnya tersampaikan pada kelompok pemuda.

Masalah pendidikan juga menjadi perhatian Gratia Wing Artha, MA. Menurut sosiolog Unair tersebut, pendidikan saat ini hanya menekankan pada aspek hafalan dan tidak membangun nasionalisme. Selain itu, Gratia menyatakan keprihatinannya pada mahalnya biaya pendidikan. Semakin tinggi sekolah semakin mahal biaya pendidikan. Pendidikan saat ini seperti ladang bisnis dan mengabaikan tujuan utamanya dalam membangun nasionalisme.

Menanggapi dan menyimpulkan uraian beberapa narasumber sebelumnya, Dr. Al Chaidar menyatakan bahwa persoalan yang dihadapi oleh bangsa saat ini adalah krisis kepemimpinan, moral, dan elit.

“Yang terjadi saat ini adalah kekacauan sistemik yang berasal dari penyelewengan kekuasaan oleh elit. Demokrasi telah disalahgunakan sehingga memberikan keuntungan bagi kelompok oligarki semata.” Dalam forum tersebut, Al Chaidar juga mengusulkan untuk mengganti sistem demokrasi menjadi nomokrasi.

Namun, menanggapi gagasan Al Chaidar, Pipip A. Rifai Hasan menyangsikan sistem nomokrasi. Menurutnya sistem penegakan hukum di Indonesia lemah, sehingga ia meragukan nomokrasi dapat menjadi solusi bagi persoalan yang ada saat ini.

Pipip memberikan optimismenya “Dengan pengurangan atau penghapusan aturan electoral threshold, mengadakan calon presiden independen, atau terpilihnya presiden yang mempunyai komitmen terhadap undang-undang, dapat menjadi solusi.” Ucapnya.

Menambahkan pendapat di atas, Herdi Sahrasad lebih menekankan pada pemberdayaan civil society dengan cara membuka ruang diskusi publik secara luas. Sependapat dengan hal ini, Agus Tanzil melihat bahwa saat ini terjadi pelemahan sumber daya manusia, sehingga membuka ruang diskusi publik, terutama untuk menghidupkan kembali wacana sejarah bangsa, dapat menjadi satu solusi yang baik. 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Otoritarianisme dan Kebebasan dalam Pembangunan di Negara – Negara Muslim

KORANBOGOR.com,JAKARTA-Dalam edisi ke-34 Kajian Etika dan Peradaban,diskusi bertajuk “Otoritarianisme dan Kebebasan dalam Pembangunan di Negara-Negara Muslim” menghadirkan akademisi Universitas...

Berita Terkait