KORANBOGOR.com,JAKARTA-Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato pada pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 Dubai, Uni Emirat Arab, pada Jumat (1/12) pekan lalu.Ia menyebutkan Indonesia akan mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060
Selain itu, ia juga mengklaim berbagai keberhasilan Indonesia mulai dari pengurangan emisi sebesar 42%,pengurangan angka deforestasi,transisi energi,hingga transisi ekonomi berkelanjutan.Semua klaim itu pun direspons oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) secara skeptis.
“Walhi menilai klaim-klaim keberhasilan tersebut dilebih-lebihkan dan kontradiktif dengan kebijakan dan aksi iklim yang sedang dijalankan pemerintah,” kata Pengkampanye Hutan dan Kebun Walhi Uli Artha Siagian melalui keterangantertulis, Senin (4/12).
Menurut dia kontradiksi itu terlihat dalam berbagai hal.
Pertama, target NZE pada 2060 atau lebih cepat tidak akan pernah terwujud dengan model ekonomi ekstraktif tinggi emisi yang selama ini dijalankan sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi.
“Fakta menunjukkan bahwa model ekonomi ekstraktif telah menyebabkan krisis iklim,konflik sosial,perampasan ruang hidup rakyat dan melipatgandakan bencana ekologis yang mengancam ekonomi dan keselamatan rakyat,” bebernya.
Model ekonomi ekstraktif seperti hilirisasi pertambangan nikel masih akan dilanjutkan negara. Itu tercermin dalam dokumen rancangan akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045.Model ekonomi ekstraktif ini membuat target NZE pada 2060 atau lebih cepat tampak seperti mimpi di siang bolong.
Selama dua puluh tahun terakhir, emisi sektor energi di Indonesia telah meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan permintaan energi.
Dengan 600 juta ton CO2 dari sektor energi pada tahun 2021, Indonesia adalah penghasil emisi terbesar ke Sembilan di dunia.
Ekstraksi pertambangan nikel juga menyebabkan deforestasi hingga 25.000 hektar dalam 20 tahun terakhir dan akan terus meningkat mengingat pemberian luas konsesi pertambangan nikel di dalam kawasan hutan mencapai 765.237 hektar yang diperkirakan akan menambah 83 juta ton emisi CO2.
Kedua, keberhasilan penurunan emisi sebesar 42% pada 2020-2022 dibandingkan BAU 2015 adalah manipulasi angka melaui teknik cherry picking.
Emisi pada tahun 2015 adalah emisi tertinggi pada rentang periode tahun 2000-2020. Laporan IGRK (Inventarisasi Gas Rumah Kaca) KLHK sendiri menyebut emisi pada 2015 mencapai 2.339.650 Gigaton CO2e.
Emisi tertinggi bersumber dari kebakaran hutan dan lahan, terutama pada ekosistem gambut. Pada tahun-tahun berikutnya kecuali tahun 2019,emisi berkisar pada angka dibawah 1.5 juta Gigaton CO2e.
“Harusnya klaim pengurangan emisi didasarkan pada BAU tahun tanpa kebakaran hutan dan lahan terutama di ekosistem gambut,” ucap Uli.
Pada 2020-2022 juga masuk dalam tahun pandemi yang menurunkan cukup signifikan emisi di beberapa sektor.
Angka keberhasilan penurunan emisi yang harusnya dicapai pemerintah sesuai dengan dokumen NDC sebesar 31% (BAU) dan 43% dengan dukungan internasional dalam jumlah emisi tahunan harus menjadi 890.000 gigaton CO2e dan 741.000 gigaton CO2e.
Ketiga, pidato Jokowi mengenai agenda mengurangi kemiskinan dan ketimpangan takkan terwujud pada 2060 jika tetap mempertahankan eksploitasi sumber daya alam sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan dalam rancangan akhir RPJPN 2025-2045 sebesar 6%-7% malah akan melanggengkan kemiskinan masyarakat Indonesia.
Pasalnya, beragam kebijakan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia justru memperburuk kehidupan masyarakat, terutama kehidupan kelompok rentan, seperti perempuan, penyandang disabilitas, petani, nelayan, masyarakat adat dan lainnya.
Kemiskinan nelayan desa-desa pesisir di Indonesia menggambarkan hal tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir Indonesia pada 2022 mencapai 17,74 juta jiwa.
Sebanyak 3,9 juta jiwa di antara mereka masuk kategori miskin ekstrem.
Jika penduduk miskin di Indonesia pada 2022 berjumlah 26 juta jiwa (data September 2022 adalah 26,16 juta jiwa), kemiskinan wilayah pesisir menyumbang 68% dari total angka kemiskinan di Indonesia.