KORANBOGOR.com,BALI-Anggota Komisi VI DPR RI I Nyoman Parta memberikan catatan kepada bank yang tergabung dalam Perhimpunan Bank Negara (Himbara) di Provinsi Bali.
Catatan itu, pertama, masih adanya syarat agunan yang dinilai memberatkan bagi para pelaku UMKM yang ingin mengajukan Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bawah Rp100 juta. “Yang menjadi catatan kurang baik, satu sesungguhnya KUR di bawah Rp100 juta itu tidak perlu ada agunan.
Dua, peraturan menteri telah menyampaikan itu, yang (nomor) 1 tahun 2022 maupun (nomor) 1 tahun 2023,” ujar Nyoman saat Kunjungan Kerja Reses Komisi VI di Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali, baru-baru ini.
Di Lapangan, Pengajuan Kredit UMKM Masih Dikenakan Agunan
“Namun di lapangan, masih dikenakan agunan, itu tidak boleh dilakukan dan itu bisa dikenakan sanksi bagi penyalur KUR yang masih menggunakan agunan untuk kredit Rp0 sampai Rp100 juta,” jelasnya.
Namun, Nyoman menerima aspirasi dari masyarakat bahwa di Bank BRI sebagai salah satu Bank Himbara masih memberikan agunan kepada nasabah dalam hal ini pelaku UMKM saat akan melakukan peminjaman KUR.
Menurut Nyoman, seharusnya, hal ini tidak boleh dilakukan oleh Bank Himbara dan penyalur KUR yang masih melakukan bisa dikenakan sanksi.
“Harusnya dikenakan sesuai dengan Peraturan Menteri nomor 1 tahun 2023, penyalur KUR itu dikenakan sanksi. Kalau menurut saya, sanksi yang harus diberikan di tingkat kepala unit bukan kepada para pemasar.
Kasihan mereka itu, mereka melakukan itu kan karena pasti perintah kepala unit,” imbuh politikus Fraksi PDI-Perjuangan ini.
Yang kedua, lanjutnya, yakni berkaitan mengenai persoalan kewajiban adanya saldo yang disisakan di rekening penerima transfer KUR tersebut (dana mengendap).
Ia mendapat laporan bahwa beberapa pelaku UMKM yang ingin melakukan pinjaman KUR di Bank BRI, menyampaikan bahwa harus ada uang yang diendapkan.
Sehingga, tidak boleh semua pinjaman KUR itu ditarik sepenuhnya dari rekening.
“Ketika nasabah meminjam KUR, uangnya di endapkan di bank yang bersangkutan. Cuman masalahnya sangat beragam, ada yang pinjamannya kecil tapi endapannya banyak, ada yang pinjamannya besar endapannya kecil.
Jadi standarnya tidak jelas,” tutur Nyoman.Persoalan endapan ini, menurutnya, menjadi penting karena bagi beberapa pelaku UMKM, sejumlah uang tersebut dapat digunakan sebagai tambahan modal.
“Karena uang yang diendapkan itu misalnya bisa diberikan bahan baku. Kalau dia pelihara ternak bisa dibelikan bibit ternak, kalau dia dipakai untuk bertani bisa diberikan pupuk dan lain sebagainya,” jelasnya.
Oleh karena itu, ia menilai Bank Himbara dalam hal ini BRI, perlu membenahi diri dengan meningkatkan lagi kualitas pemasar serta membuat standar baku terkait dengan jumlah besaran endapan yang menjadi persyaratan.
“Oleh karena itu Bank Himbara harus menjelaskan dengan baik untuk apa uang itu di endapkan? Standarnya berapa? Apakah satu kali, apakah dua kali? Masa sampai lima kali, angsuran orang diendapkan? tentu merugikan nasabah,” tegasnya.
Di samping itu, sistem standar mengenai jumlah endapan bagi pelaku UMKM yang mengajukan KUR ini juga antar unit harus diseragamkan.
“Karena antar kepala unit beda-beda, ada yang berani pidato di depan di cabang saya, ‘unit saya, tidak ada KUR yang dikenakan agunan’.
Tapi di tempat lainnya nggak berani dia pidato di depan itu. Artinya ada ada kejadian-kejadian yang tidak seragam padahal satu induk,” jelassnya