Ketua MK Anwar Usman Tabrak UU Kekuasaan Kehakiman

Harus Baca

KORANBOGOR.com,JAKARTA-Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal syarat minimal usia capres-cawapres melibatkan Ketua MK Anwar Usman, yang juga adik ipar dari Presiden Joko Widodo.

Padahal, UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa hakim tidak boleh punya konflik kepentingan dalam memutus perkara.  

Pada putusannya, MK memperbolehkan mereka yang belum berusia 40 tahun asalkan memiliki pengalaman sebagai kepala daerah atau jabatan yang dipilih dalam Pemilihan Umum atau Pilkada (elected officials), untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres.

Putusan itu dianggap menyediakan karpet merah bagi putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres.

Dosen Ilmu Politik & International Studies, Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menjelaskan Pasal 17 ayat 3 UU No. 48/ 2009 menyebut

“Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera”. 

Lalu, Pasal 17 ayat 5 UU No. 48/ 2009: “Seorang hakim dan panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas pihak yang berperkara”.

Selanjutnya, Pasal 17 ayat 6 UU No. 48/ 2009: “Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

D. Pasal 17 ayat 7 UU No. 48/ 2009: “Perkara sebagaimana dimaksud ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda”.

“Jika merujuk pada Pasal 17 ayat 3 UU No.48/ 2009 tersebut di atas, keberadaan Ketua MK Anwar Usman selaku adik ipar Presiden Jokowi sekaligus paman dari Gibran Rakabuming Raka, menguatkan dugaan adanya konflik kepentingan (conflict of interests) yang bertentangan dengan spirit independensi kekuasaan kehakiman,” papar Umam, Selasa (17/10).

MK mengabulkan satu dari beberapa gugatan soal batas usia minimal capres-cawapres. Gugatan dengan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh seorang mahasiswa Almas Tsaqibbirru.

Ia mengaku sebagai pengagum Gibran. Menurut Umam, jika Almas memiliki relasi kepentingan secara langsung maupun tidak langsung dengan Gibran, hal itu jelas berpotensi bertentangan dengan Pasal 14 ayat 5 UU No.48/ 2009.

Terlebih lagi, menurut Umam dalam Rapat Putusan Hakim (RPH) di MK, komposisi sikap hakim dalam pengambilan keputusan juga beragam dan tidak bulat.

Terdapat 3 hakim yang setuju, 2 hakim dissenting opinion (DO), dan 2 hakim Concurring Opinion (CO) atau memiliki argumen berbeda tapi ikut saja bersetuju dengan keputusan mayoritas majelis hakim.

“Artinya, tidak menutup kemungkinan 2 orang hakim yang bersikap Concurring Opinion (CO) berada di bawah tekanan, namun tidak berani bersikap menghadapi kekuatan besar yang menghantui netralitas dan independensi hakim,” ucap Umam.

Dugaan adanya upaya memengaruhi atas putusan, sambung Umam, dikonfirmasi oleh testimoni Hakim Konstitusi Saldi Isra yang mengakui banyak hal aneh dalam pengambilan keputusan di MK.

Saldi menjabarkan hal itu saat sidang pengucapan putusan, kemarin (16/10). “Merujuk pada Pasal 17 ayat 6 dan 7 UU No. 48/ 2009, jika benar terjadi konflik kepentingan atau bahkan ada dugaan tekanan politik yang merusak independensi dan netralitas hakim, putusan MK kemarin bisa dianulir, putusannya dinyatakan tidak sah, ” papar Umam.

Merujuk pada celah ketidakpastian dan lemahnya legitimasi putusan MK, Umam mengatakan para Capres baik Prabowo Subianto maupun Ganjar Pranowo, sebaiknya tidak gegabah dan berhati-hati dengan berpikir matang sebelum mengambil keputusan untuk menentukan Gibran sebagai Cawapres mereka.

“Sebab, jika langkah politik itu sudah dilakukan, namun putusan MK kemudian digugat dan dianulir, hal itu akan menjadi amunisi yang sangat efektif untuk mendegradasi dan menghancurkan kredibilitas pencapresan mereka,” terang Umam yang juga Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRAT

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Komisi X DPR RI : Mendikbud Tak Punya Grand Design Pendidikan

KORANBOGOR.com,JAKARTA-Tak hanya polemik Uang Kuliah Tunggal (UKT), pendidikan di Indonesia mengalami masalah yang serius. Hal itu ditengarai akibat tidak...

Berita Terkait