KORANBOGOR.com-Maraknya menteri dalam lingkaran koalisi pengusung bakal pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam kontestasi Pemilu 2024 merupakan bentuk politisasi sumber daya negara.
Mereka berpotensi membuat program kerja yang hanya menjangkau lapisan masyarakat tertentu. Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mada Sukmajati mengingatkan ancaman bahaya dari potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh para menteri, yakni kecemburuan di kalangan masyarakat.
Hal itu diperparah dengan banyaknya dukungan para menteri kabinet saat ini terhadap pasangan yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM).
“Ini membuka peluang bagi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi politik serta terbelahnya masyarakat. Karena kalau program-programnya sudah menyasar target-target kelompok tertentu, kan berarti bisa melahirkan kecemburuan di kalangan masyarakat,” jelas Mada kepada Media Indonesia, Kamis (26/10).
KIM yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Gelora, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diketahui mendaftarkan Prabowo Subianto dan putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, sebagai bakal pasangan capres-cawapres.
Para elite partai politik dalam KIM saat ini juga masuk dalam kabinet Presiden Joko Widodo. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto selaku Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan selaku Menteri Perdagangan.
Sementara itu, Wakil Menteri Agraria Tata Ruang/BPN Raja Juli Antoni merupakan Dewan Pembina Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Adapun Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang (PBB) Afriansyah Noor saat ini menjabat sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
Ada pula nama Ketua Umum relawan Projo, Budi Arie Setiadi, sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika. Sementara itu, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia ditunjuk sebagai Wakil Ketua Tim Kampanye Prabowo-Gibran.
Bagi Mada, masyarakat bakal melewati hari-hari panjang dengan suguhan para menteri yang menunjukkan keberpihakan terhadap salah satu pasangan calon sampai Presiden-Wakil Presiden baru dilantik pada 20 Oktober 2024.
Menurutnya, sulit untuk mendesak para menteri itu untuk mundur dari jabatan, terutama bagi mereka yang mendukung Gibran selaku anak Presiden.
“Ini menjadi tauladan yang tidak baik dari para elite politik karena mereka yang sebenarnya bisa jadi sangat potensial mendorong akan terjadinya pembilahan kelompok-kelompok sosial di kalangan masyarakat,” pungkas Mada.
Terpisah, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan tidak ada regulasi yang mewajibkan menteri untuk mundur jika mendukung pasangan capres-cawapres tertentu.
Dalam masa kampanye, misalnya, menteri hanya diminta untuk mengajukan cuti.
“Tapi dalam konteks hari ini sulit untuk bisa mengawasinya di masa kampanye saja, karena sekarang pasangan calon sudah mendaftar semua ke KPU dan masing-masing tim sudah memiliki nama2 tim pemenangan,” ujarnya.
(media indonesia)