KORANBOGOR.com,JAKARTA-Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Satya Bumi,Greenpeace Indonesia, Sawit Watch,WALHI,Yayasan Madani Berkelanjutan,dan Indonesia for Global Justice menyampaikan legal anotasi putusan kasus korupsi persetujuan ekspor minyak sawit mentah (CPO) kepada Kejaksaan Agung.
Penyerahan dilakukan secara resmi kepada Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung RI,Ketut Sumedana di kantor Kejagung RI, Jakarta Selatan, Selasa (7/11).
Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien mengatakan, kasus tersebut penting untuk disorot. Sebab penegakan hukum terhadap korupsi ekspor CPO ini menyangkut hajat hidup orang banyak secara langsung.
Di sisi lain, kasus ini merupakan terobosan yang dilakukan oleh  Kejagung dalam penegakan hukum kasus korupsi, terutama berkaitan dengan korupsi sumber daya alam dengan pelibatan aktor korporasi.
Pada kasus ini, salah satu bentuk terobosan dalam dakwaan jaksa adalah penerapan unsur kerugian perekonomian negara yang jauh lebih luas dibanding kerugian keuangan negara.
“Meski demikian, terdapat beberapa catatan kritis terhadap kasus ini. Pertama, dari sisi penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi,” kata Andi Muttaqien dalam keterangannya, Rabu (9/11).
Ia menyebut, Jaksa dalam dakwaan primer menerapkan Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, dan dakwaan sekunder Pasal 55 Ayat (1) ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Penerapan pasal ini menjadikan pembuktian fokus pada aktor pemerintah.
Sementara terkait peran korporasi dilihat sebagai turut serta. Semestinya, Pasal 20 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi bisa diterapkan pada kasus ini, yang mana telah mengadopsi teori pertanggungjawaban pidana korporasi vicarious liability.
Andi menyebut, teori ini bisa menjerat pelaku korporasi sejak awal. Kedua, pengabaian peristiwa lahirnya kebijakan yang membuka ruang terjadinya tindak pidana korupsi ekspor CPO.
“Jika mempertimbangkan peristiwa perubahan kebijakan yang terjadi, kasus ini bisa dikembangkan menjadi korupsi kebijakan,” ujar Andi.
Kebijakan yang dimaksud terkait rangkaian perubahan peraturan menteri perdagangan perihal domestic market obligations (DMO) yang berubah dalam hitungan hari. Menurutnya, catatan lain yang menjadi perhatian pada kasus ini adalah belum tergalinya motif dari sisi pemerintah.
Andi mengutarakan, perubahan kebijakan yang begitu drastis dan membuka ruang bagi korporasi
untuk bermanuver dalam persetujuan ekspor. Hal ini yang mendorong terjadinya tindak pidana korupsi pada persetujuan ekspor ini.
Apalagi kasus ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa langkanya minyak goreng di Indonesia, yang terjadi akibat pelaku usaha memilih untuk mengejar keuntungan lebih besar lewat jalur ekspor.
“Karena saat ini Kejagung menindak korporasi secara terpisah, Jaksa Penuntut Umum harus memastikan pertanggungjawaban korporasi menyasar grup, dalam konteks ini melihat relasi perusahaan yang terlibat korupsi ekspor CPO dengan grup perusahaan sebagai single economic entity (entitas ekonomi tunggal),” pungkas juru kampanye hutan Greenpeace Indonesia Syahrul Fitra.