KORANBOGOR.com,JAKARTA-Praktek-praktek hukum yang mengabaikan etika, seperti dinyatakan almarhum Nurcholish Madjid memunculkan distorsi keadilan, penyimpangan keadilan yang melukai hati masyarakat.
Demikian disampaikan Dr.phil Suratno Muchoeri dalam seminar bertajuk Fatsoen-Politik & Hukum: Menuju Etika & Hukum sebagai Pondasi Politik yang Berkeadilan di Indonesia.
Seminar didahului dengan pembacaan puisi oleh Dr. M. Subhi-Ibrahim dan Dhea Megatruh, S.Ag. mengenang almarhum Prof. Dr. Abdul Hadi WM dan diselenggarakan secara hibrid di Pesantren Alam al-Anwari Madani Serang Banten, Kamis (8/2/2024).
Suratno yang juga Ketua The Lead Institute Universitas Paramadina ini menjelaskan etika posisinya di atas hukum karena urutannya adalah nilai, asas, norma dan undang-undang dan etika itu dilevel asas dan norma. “Hukum juga karena lebih focus ke hal-hal yang dzohir, sehingga memerlukan etika sebagai landasan dan pondasinya. Mengutip filsuf Jerman Immanuel Kant: Dalam hukum kita bersalah kalau melanggar hak-hak orang lain, tapi dalam etika kita sudah bersalah meskipun baru berpikir untuk melakukan hal itu.” Katanya.
Di dunia politik Indonesia, menurut Suratno, karena hukum dipisahkan dari etika maka banyak pejabat dan politisi yang sebenarnya cacat moral karena pernah melanggar hukum maupun diduga melanggar tapi masih bisa nyaleg, menjadi pejabat dan lain-lain selama tidak melanggar undang-undang.
“Tidak seperti di negara lain yang langsung mengundurkan diri. Hukum yang terpisah dari etika juga membuat hukum seperti tumpul ke atas, ke para pejabat, politisi dan penguasa, akan tetapi tajam ke bawah yakni ke rakyat kecil.” Lanjutnya.
Pembicara lain, Fachrizal Afandi SH, MH, PhD Dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang menjelaskan bahwa spirit prophetic dari Nabi Muhammas SAW di hari Isra Miraj bisa menjadi tauladan dalam relasi hukum dan etika. “Nabi Muhammad sangat tegas dalam penegakkan hukum termasuk akan menghukum anaknya sendiri Fatimah RA jika terbukti bersalah. Nabi SAW juga sangat menjunjung tinggi akhlaq karena itu bagian penting dari misi kenabian beliau.” Paparnya.
Di Indonesia menurut Fachrizal, relasi hukum yang terpisah dari etika banyak muncul dalam kasus-kasus conflict of interest, konflik kepentingan seperti misalnya dalam kasus pelangaran etik oleh MK, oleh KPU, fenomena politisasi penyaluran bansos dan lainnya.
“Pejabat dan politisi yang baik harus berakhlaq mulia dan menghindarkan diri dari konflik kepentingan sehingga terhindar dari dilemma-dilema yang bisa membuat mereka melanggar etika, meski secara hukum sah-sah saja. Jadi sumpah-jabatan para pejabat dan politisi, jargon BUMN berakhlaq, dan juga profesionalisme kerja bisa diimplementasikan secara baik. Oleh karena etika menjadi sangat penting dan tanpa hal itu hukum menjadi kering.” Ujar Fachrizal.
Dr. Fully Handayani Ridwan, SH, MKN, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia sebagai pembicara menjelaskan bahwa dalam konteks relasi hukum dan etika, lembaga-lembaga hukum di Indonesia sebenarnya sudah memiliki aturan, prosedur dan perangkat-perangkat pengawasan etika.
“Ada Dewan Etik di Mahkamah Konstitusi, di pengadilan, di kepolisian, di DPR, di KPK dan lainnya. Problemnya tinggal apakah aturan, prosdur dan perangkat-perangkat itu dijalankan dan menjalankan tugas sebaik-baiknya atau tidak. Seringkali hal itu tidak berjalan baik karena menyangkut kepentingan penguasa dan pejabat. Selain itu juga memang dbutuhkan control civil society dan masyarakat luas dalam pengawasan. Sekarang ada internet yang bisa menjadi media efektif dan strategis untuk memainkan fungsi control itu.” Jelas Fully.
Lebih lanjut Fully menyatakan bahwa etika juga harusnya tidak hanya menjadi concern pemimpin, pejabat dan politisi saja, akan tetapi juga semua. Masyarakat juga harus beretika jangan anarkhis, main hakim sendiri, menyebarkan hoax, fitnah, black campaign dan sejenisnya. Hal itu bisa mengaburkan opini public tentang mana yang baik dan yang buruk sehingga etika menjadi terjungkir balikkan.
“Dunia pendidikan sendiri juga masih krisis etika. Dosen-dosen terpaksa sibuk dengan urusan administratif sehingga pendidikan etika kepada mahasiswanya menjadi kurang maksimal. Jadi relasi hukum dan etika harus dilihat secara makro dan mikro, di level atas: pemimpin, pejabat, politisi dll., dan di level bawah atau rakyat.” Tegas Fully.
Pembicara terakhir Kyai Agus Heryanto selaku pengasun Pesantren Alam al-Anwari Madani menegaskan komitmen pesantren untuk turut menjaga hukum dan etika sebagai pondasi politik yang berkeadilan.
Hal itu menurut kyai Agus, bisa dimulai dari yang kecil-kecil dulu. Di pesantren ada aturan-aturan yang harus ditegakkan. Para santri dan santriwati juga diajari dan dibiasakan untuk berperilaku baik, sopan santun (fatsoen) dan menjunjung tinggi etika.
“Pesantren sadar, santi dan santriwati kelak akan terjun ke masyarakat, tidak hanya jadi pendakwah dan tokoh agama tapi juga bisa jadi pemimpin, pejabat, politisi dan sejenisnya. Harapannya ketika hal itu tercapai, alumni pesantren menjadi pemimpin yang memegang teguh dan menjunjung tinggi hukum dan etika dalam menjalankan kepemimpinannya” pungkasnya.