KORANBOGOR.COM.JAKARTA. Kisruh terkait Perebutan Hak Asuh Anak belakangan ini ramai di Media sosial, Komisi Perlindungan Anak Indonesia ( KPAI) dengan sigap langsung menggelar rapat koordinasi antar Kementerian dan Lembaga terkait (28/06).
Anatara lain Kementerian yang ikut dalam rapat koordinasi terkait Konflik Perebutan Hak Asuh Anak bersama dengan Kementrian Koordinasi PMK, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Kementrian Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) dan Mahkamah Agung.
Ketua KPAI mengatakan akibat dari perceraian tidak menutup kemungkinan mengakibatkan pengasuhan yang salah pada anak seperti Parental Abduction yaitu pengambilan, penguasaan dan penyembunyian anak dari salah satu orang tua dan Parental Alienation yaitu pengasingan salah satu orang tua dari sang anak, dalam bentuk “brainwash” pada anak .
Kedua tindakan itu bertujuan untuk menghapuskan atau mengkaburkan peran salah satu orang tua pada anak yang bisa berdampak pada perkembangan mental dan psikis anak pada masa depan.
“Kemungkinan anak di brainwash itu tidak menutup kemungkinan terjadi sebagai dampai dari perceraian, maka dari itu orang tua sebaiknya bijak untuk tetap memberikan dan menjalankan apa yang sudah menjadi hak anak untuk tetap mendapatkan kasih sayang dari kedua belah pihak orang tua.” kata Ai Rahmayanti, kepada media di Jakarta.
Dalam kesempatan kali ini, KPAI bersama dengan beberapa Kementrian dan Mahkamah Agung bersama-sama berdiskusi untuk dapat memberikan perlindungan secara nyata atas Hak Anak Indonesia, khususnya pada kasus sengketa atau perebutan hak asuh anak dari orang tua yang mengalami perceraian atau Akses anak ditutup oleh pemegang Hak Asuh.
Perwakilan dari MA menambahkan,”perceraian itu sendiri sudah membawa luka batin bagi anak dan kedua orang tua,ditambah dengan adanya sengketa antar orang tua yang tidak menutup kemungkinan terjadi pengabaian hak anak Indonesia.” Papar Mahkamah Agung
Dalam presentasi Kemeko PMK, juga menjabarkan beberapa bentuk hukum sebagai bentuk perlindungan dalam pemenuhan hak anak Indonesia.
Kehadiran negara dalam melindungi hak anak Indonesia sudah tertuang dalam Peraturan presiden hingga Undang-Undang seperti Perpres 60 Tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif, pasal 2 ayat 2 huruf a, pengasuhan termasuk upaya pemenuhan esensial kebutuhan anak; Perpres 25 tahun 2021 tentang Kebijakan KLA – menguatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif; PP Nomor 44 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengasuhan Anak; PP 78 tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus bagi Anak , Pasal 75 – Pasal 82 Anak Korban Perlakuan Salah dan Penelantaran.
Sesuai dengan Undang-Undang No 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pasal 2 ayat 1 menjabarkan salah satu Konvensi Hak Anak adalah demi kepentingan yang terbaik bagi anak.
Dijabarkan juga pada pasal 14 dimana, Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Terdapat pula UU No 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga – pasal 48 ayat 1 point a yaitu peningkatan kualitas anak dengan pemberian akses informasi, pendidikan, penyuluhan, dan pelayanan tentang perawatan, pengasuhan dan perkembangan anak.
Dalam kesempatan ini Mahkamah Agung juga memahami kendala di lapangan dalam hal eksekusi anak, maka dari itu Mahkamah Agung sedang memproses pengeluaran Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sebagai bentuk kontribusi dalam penyelesaian masalah hak asuh anak di Indonesia demi kepentingan bagi anak.
Pengeluaran SEMA dan PERMA didukung penuh oleh Kemenkumham dan KemenPPPA untuk dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum bagi para pihak yang mendapatkan hak asuh anak berkekuatan tetap.
Sangat disayangkan dalam kesempatan ini tidak hadir Kepolisian Indonesia untuk dapat berkontribusi dan berpartisipasi dalam perebutan Hak Asuh Anak.