KORANBOGOR.com,JAKARTA-Kordinator Komite Pemilih Indonesia, Jerry Sumampow mengatakan Pemilihan Umum2024 merupakan terburuk sepanjang pemilihan langsung yang diselenggarakan di negeri ini.
Ia mengaku sejak 2003 sudah memantau perkembangan demokrasi dalam hal ini pemilu, yang notabene sebagai pesta demokrasi rakyat Indonesia. “Pemilu, diikuti pilkada 2024, ini menjadi titik paling buruk dari persoalan etik moral dalam rangka mengelola demokrasi,” kata Jerry dalam diskusi PARA Syndicate dengan tajuk Setelah Pilkada 2024: Nasib Demokrasi Kita vs Masa Depan Dinasti Jokowi, Senin (2/12).
Menurutnya Endorse  atau dukungan dari para pejabat-pejabat aktif pemerintahan sudah sejak dahulu dilakukan. Namun, tahun ini pejabat dan bahkan presiden melakukan endorse secara terang-terangan.
“Jadi setingan endorsmen itu bagian proses buruk ini. Kalau dulu pejabat-pejabat itu masih malu lakukan endorse, sekarang tidak malu-malu, malah nantangin bilang terang-terangan,” katanya.
Ia menilai adanya pergeseran nilai etik mulai dari politik uang hingga dukungan dilakukan secara terang benderang. Dengan demikian, banyak calon kepala daerah yang bukan asli dari daerah itu.
“Netralitas ASN dari dulu sudah masalah, TNI-Polri. Tapi dulu itu takut-takut, sekarang malah nantangin. Dalam situasi pilkada seperti ini munculah orang-orang yang tidak punya nama di masyarakat tapi berani maju, fenomena itu yang kita lihat di 2024.”
Sehingga, imbuh dia, ada partai politik yang menyebut keterlibatan ASN sangat masif di Pemilu 2024. “Makanya PDIP teriak parcok, partai cokelat. Ini bukan sekarang, dari dulu, dan saya kira PDIP juga menggunakan itu dulu. Jadi parcok itu dipelihara begitu rupa dan dia mudah digunakan oleh setiap rezim yang berkuasa dan ini faktanya,” beber Jeirry.
Bahkan, sambung dia, jika calon yang diusung para elite ini kalah dalam penghitungan suara, manipulasinya bisa berlanjut saat rekapitulasi yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Kalau gagal dipilih masyarakat pada hari H, kecurangan dan manipulasi akan dilakukan lewat rekapitulasi baik itu manual dan Sirekap ini. Kenapa menjadi ajang permainan? Karena selain KPU dan Bawaslu dan kepolisan, hampir tidak ada yang mempunyai hasil resmi,” ucap dia.
Kendati saat ini sudah berkembang, seperti halnya lembaga-lembaga independen pemantau pilkada, namun hal itu tidak akan berpengaruh dalam hal rekapitulasi yang dilakukan KPU.
“Model advokasi, kesalahan proses itu karena hampir tidak ada yang memiliki data komplet semua TPS, termasuk pasangan calon dan partai politik. Kalaupun ada dari masyarakat, dalam proses rekapitulasi itu tidak bisa dipakai, kenapa? Karena itu bukan data resmi,” pungkasnya.