KORANBOGOR.com,JAKARTA-Dalam rangka memperingati Hari Filsafat Sedunia, Paramadina Graduate School of Islamic Studies mengadakan diskusi bertajuk “Filsafat Telah Mati? Membincang Ulang Peran Filsafat dalam Kanvas Peradaban Kontemporer.”
Acara yang digelar di Gedung Sevilla,Universitas Paramadina, Jakarta, ini menghadirkan tiga narasumber terkemuka: Dr. M.Subhi-Ibrahim (Direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies),Dr. Budhi Munawar-Rachman (Dosen STF Driyarkara),dan Dr.Luh Gede Saraswati Putri (Dosen Filsafat Universitas Indonesia).
Diskusi diawali dengan pembacaan puisi berjudul “Halaqoh Pulosirih” oleh Sofyan RH Zaid, diiringi petikan gitar oleh Ivan, yang merupakan mahasiswa Paramadina Graduate School of Islamic Studies. Suasana puitis ini menjadi pembuka yang menyentuh untuk diskusi yang sarat makna.
Dr. Luh Gede Saraswati Putri membahas isu saintisme, yakni pandangan bahwa ilmu pengetahuan adalah satu-satunya cara memahami dunia, yang menyebabkan pemisahan ilmu dari makna hidup manusia. Ia menyoroti perlunya kembali pada Lebenswelt (penghayatan hidup sehari-hari) sebagai upaya mendamaikan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai kemanusiaan.
“Kita menghadapi krisis multidimensional yang berakar pada objektivisme berlebihan. Ilmu pengetahuan harus kembali melibatkan pengalaman hidup sehari-hari manusia agar tidak kehilangan makna,” ujar Saraswati.
Ia juga mengupas dampak teknologi kecerdasan buatan (AI) yang dinilainya dapat menyeragamkan pikiran dan mengancam ruang kreatif manusia. “AI yang begitu luas cakupannya dapat menyeragamkan isi pikiran kita, mengambil alih ruang kreatif, dan menjadi alat kapitalisme global. Di sinilah filsafat memainkan peran penting untuk mengevaluasi ancaman eksistensial ini dan mendorong regulasi AI yang lebih manusiawi,” jelas Saraswati.
Dr. Budhi Munawar-Rachman membahas peran filsafat dalam menghadapi transformasi digital. Menurutnya, filsafat berfungsi sebagai kerangka kritis untuk memahami dampak teknologi terhadap manusia, menganalisis isu privasi, dan mengarahkan inovasi teknologi menuju tujuan yang humanistik.
“Filsafat harus mempertahankan wataknya sebagai ilmu kritis yang ‘menggonggong’ terhadap perubahan zaman. Kita memerlukan filsafat untuk menilai ulang metode tradisional memperoleh pengetahuan dan memahami isu-isu etis seperti privasi dan kecerdasan buatan,” tutur Budhi.
Dr. M. Subhi-Ibrahim menutup diskusi dengan menyoroti pentingnya mengembalikan filsafat ke esensinya sebagai philosophia, yaitu cinta kebijaksanaan. Ia menekankan pentingnya hubungan antara pengetahuan dan kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang dicontohkan pada masa klasik.
“Filsafat tidak boleh kehilangan marwahnya. Sebagai philosophia, filsafat harus menjadi titik awal untuk memahami kehidupan dan titik akhir untuk menemukan kebijaksanaan dalam menghadapi realitas,” ujar Subhi-Ibrahim.
Diskusi ini memberikan perspektif segar bahwa filsafat tidak mati, melainkan terus beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dengan daya kritisnya, filsafat tetap relevan dalam memberikan solusi atas krisis multidimensional yang melanda peradaban modern, termasuk ancaman ekologis, konflik global, dan disrupsi teknologi.
Acara ini menjadi momen refleksi penting bagi para akademisi, praktisi, dan masyarakat umum untuk memahami peran filsafat dalam menjawab tantangan era kontemporer.
Arief Tito