Kepercayaan Publik yang Hilang: Urgensi Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo”

Harus Baca

KORABOGOR.com,JAKARTA-Universitas Paramadina menggelar diskusi publik bertajuk “Kepercayaan Publik yang Hilang: Urgensi Kredibilitas Komunikasi Pemerintahan Prabowo” secara offline di Universitas Paramadina Kuningan, Trinity Tower Lt.45 pada Selasa (11/3/2025).

Peran Juru Bicara Presiden (Jubir) dalam pemerintahan Indonesia telah mengalami berbagai perubahan sejak era Presiden Soekarno hingga saat ini. Seiring dengan perkembangan politik dan media, fungsi Jubir terus beradaptasi untuk menjembatani komunikasi antara pemerintah dan masyarakat. Diskusi dimoderatori oleh Faris Budiman Annas, M.Si., Sekretaris Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina.

Dalam sambutannya, Rektor Universitas Paramadina, Prof. Didik J. Rachbini menyoroti perbedaan pola komunikasi pemerintahan dari era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga saat ini. Menurutnya, komunikasi politik di era SBY cukup rapi dan transparan dengan kehadiran juru bicara resmi seperti Andi Mallarangeng dan Dino Pati Djalal. Namun, setelahnya, pola komunikasi menjadi tidak terdeteksi akibat dominasi buzzer politik di media sosial.

“Para buzzer ini tidak memiliki posisi dan kedudukan yang jelas, apakah mereka bagian dari civil society, LSM, atau wakil pemerintahan. Jika mereka adalah relawan, sebaiknya dimasukkan ke dalam institusi resmi seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika agar transparan dan bisa dikontrol,” ujar Didik.

Prof. Didik juga mengutip riset LP3ES yang menyebut bahwa hoaks seringkali justru berasal dari institusi negara. Salah satu contoh yang ia angkat adalah narasi yang menyamakan KPK dengan Taliban, yang menurutnya merupakan bagian dari upaya sistematis untuk membentuk opini publik.
Sejarah dan Dinamika Juru Bicara Presiden

Andi Mallarangeng menjelaskan bahwa sejak era Bung Karno hingga Jokowi, pola komunikasi pemerintahan terus mengalami perubahan. “Di era Bung Karno, ada juru bicara ideologi, sedangkan di era Suharto, komunikasi dijalankan oleh para menterinya tanpa adanya juru bicara khusus. Gus Dur sempat memiliki empat juru bicara yang bekerja dalam sistem shift, namun ini menimbulkan inkonsistensi informasi,” paparnya.

Sejarah Jubir Presiden di Indonesia dimulai sejak era Presiden Soekarno. Saat itu, Usman, yang dikenal sebagai ‘Jubir Usdek Manipol’ bertanggung jawab langsung kepada presiden dengan tugas utama menjelaskan aspek ideologi pemerintahan. Di era Presiden Soeharto, posisi resmi Jubir tidak ada karena komunikasi pemerintah dilakukan melalui para menteri, dengan pengecualian Moerdiono yang berperan sebagai Seskab. Presiden Habibie juga tidak memiliki Jubir, karena ia lebih memilih menyampaikan pesan langsung kepada publik. Sementara itu, Presiden

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memiliki empat Jubir yang bekerja dalam sistem shift. Namun, sistem ini menghadapi kendala dalam kesinambungan informasi, menyebabkan kebingungan di kalangan media. Era Presiden Megawati Soekarnoputri juga tidak memiliki Jubir resmi. Sebagai gantinya, banyak anggota partai politik yang berperan dalam menyampaikan kebijakan pemerintah. Baru pada masa pemerintahan Presiden SBY, sistem Jubir kembali diterapkan dengan struktur yang lebih terorganisir. Saat itu, terdapat dua Jubir, yaitu Dino Pati Djalal untuk urusan luar negeri dan Andi Mallarangeng untuk urusan dalam negeri. Jubir bertugas setiap hari tanpa sistem shift untuk memastikan kesinambungan informasi.

Menurut Andi, pola komunikasi terbaik terjadi di era SBY. Dengan sistem yang tertata, para juru bicara memiliki peran strategis dalam menjelaskan kebijakan pemerintah kepada publik. Ia menyoroti bahwa dalam era Jokowi, juru bicara pemerintahan tidak berfungsi optimal, dan komunikasi lebih banyak dilakukan oleh buzzer yang sering kali bersifat menyerang lawan politik.

Uni Zulfiani Lubis, Pemimpin Redaksi IDN Times, menambahkan bahwa pola komunikasi pemerintahan semakin bertransformasi di era digital. Ia menggarisbawahi bahwa pada era Jokowi, komunikasi lebih banyak bergantung pada media sosial dibandingkan pertemuan langsung dengan jurnalis.

“Di era Jokowi, pertemuan dengan pemimpin redaksi hanya dilakukan dua kali setahun dengan durasi singkat, sehingga kesempatan untuk klarifikasi terbatas. Akibatnya, media lebih sering mendapatkan informasi dari YouTube Presiden ketimbang forum diskusi yang lebih interaktif,” jelas Uni.

Ia membandingkan pola komunikasi ini dengan era SBY, di mana pemerintah lebih terbuka terhadap media. “Pak SBY bahkan mengakomodir hingga 65 pemimpin redaksi dalam diskusi yang berlangsung selama beberapa jam, memungkinkan media untuk mendapatkan informasi latar belakang yang lebih mendalam,” tambahnya.

Jurnalis senior Budiman Tanuredjo menyoroti pentingnya komunikasi yang berbasis pada mutual respect antara pemerintah dan media. Ia mengingatkan bahwa komunikasi yang baik bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga tentang membangun pemahaman yang mendalam antara pemerintah dan masyarakat.

“Di era SBY, komunikasi lebih tertata dan menghargai hubungan antara pemerintah dan media. Ketika ada kritik keras dari media, pemerintah merespons dengan membuka ruang diskusi. Ini yang tidak terlihat di pemerintahan saat ini,” kata Budiman.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden pertama yang menggunakan hak jawab di media massa resmi. Salah satu contohnya adalah saat peristiwa tsunami Aceh, di mana hak jawab SBY dimuat oleh SKH Kompas dengan porsi yang sama sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip jurnalistik yang adil dan berimbang. Selain itu, dalam kasus “Cicak vs Buaya,” meskipun editorial Kompas mengambil posisi kritis terhadap pemerintah, komunikasi tetap terbuka sehingga tercipta pemahaman yang lebih baik di antara kedua pihak.

Budiman menegaskan bahwa kritik media tidak seharusnya dilihat dalam kerangka polarisasi biner “jika tidak mendukung, berarti menentang.” Justru, kritik yang konstruktif menjadi bagian dari demokrasi yang sehat dan membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Sementara itu, Abdul Rahman Ma’mun, Dosen Universitas Paramadina, menyoroti bahwa komunikasi pemerintah seharusnya tidak hanya berorientasi pada personalisasi pejabat, melainkan pada fungsi-fungsi yang dijalankan. Presiden sebagai komunikator utama memiliki tanggung jawab besar dalam membangun kepercayaan publik, bukan hanya melalui retorika tetapi juga melalui tindakan yang konsisten dan transparan.

Ia mengkritisi pernyataan-pernyataan inkonsisten dari pemerintah yang dapat merusak kepercayaan publik. “Publik tidak peduli siapa yang menyampaikan informasi, yang mereka inginkan adalah transparansi dan konsistensi. Jika komunikasi pemerintah tidak dikelola dengan baik, kepercayaan publik akan benar-benar hilang,” tegasnya.

Abdul Rahman juga mengingatkan bahwa dalam era keberlimpahan informasi, transparansi harus diwujudkan bukan hanya dalam jumlah informasi yang tersedia, tetapi juga dalam kualitas dan kredibilitasnya. Jika transparansi hanya menjadi formalitas tanpa akuntabilitas yang jelas, maka kepercayaan publik justru akan semakin tergerus.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

PDIP Sebut Ada Utusan yang Menekan Hasto Mundur dari Sekjen

Foto: Jumpa pers DPP PDIP dan Tim Hukum Hasto Kristiyanto di kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat,...

Berita Terkait