Aksi Kamisan: Ratusan Jurnalis Bersama Aliansi Masyarakat Sipil Gelar Aksi “Mengecam Kekerasan Terhadap Jurnalis” Yang Terus Berulang

Harus Baca

-KORANBOGOR.com,SEMARANGRatusan jurnalis bersama aliansi masyarakat sipil menggelar Aksi Kamisan di depan Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah (Mapolda Jateng), Kamis (17/4). Mereka mengecam kekerasan terhadap jurnalis yang dinilai terus berulang dan mengancam demokrasi.

Massa aksi yang mengenakan pakaian serba hitam tiba di lokasi sekitar pukul 16.50 WIB. Mereka membawa poster bertuliskan Save Journalist, Jurnalis Bukan Teroris, dan Journalist Is Not a Crime, Brutality Is. Tema aksi kali ini tegas, Kalau Aparat Berani Nempeleng Jurnalis, Artinya Demokrasi Sedang Terancam.

Koordinator lapangan aksi Raditya Mahendra Yasa menyinggung insiden pemukulan terhadap jurnalis foto Kantor Berita Antara Makna Zaezar oleh ajudan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pada Sabtu (5/4) lalu.

“Kejadian kemarin itu adalah gambaran kecil dari represi aparat terhadap kawan kami, Makna. Itu potret kekerasan yang berulang dilakukan aparat baik polisi, TNI, maupun aparat negara lainnya,” ujar Mahendra dalam orasinya.

Mahendra yang juga anggota Pewarta Foto Indonesia (PFI) menegaskan bahwa kekerasan itu melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

“Sore ini hanya ada satu kata, lawan! Lawan represi, lawan intimidasi! Hidup jurnalis!,” kata dia lantang, mengajak jurnalis mengangkat kamera tinggi-tinggi sebagai simbol perlawanan. Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang Aris Mulyawan menyatakan bahwa Jawa Tengah kini berada dalam kondisi darurat kebebasan pers.

“Kekerasan terhadap jurnalis akhir-akhir ini meningkat. Bukan hanya menimpa media arus utama, tetapi juga pers mahasiswa. Ini pertanda demokrasi sedang sekarat,” katanya.

Aris menambahkan saat kebebasan berpendapat dan kebebasan akademik dibungkam, maka hal itu menjadi sinyal kematian demokrasi di Indonesia. “Kita sebagai pilar demokrasi tidak boleh diam. Sebelum kehancuran benar-benar terjadi, kita harus bersatu melawan penindasan dan ketidakadilan,” kata redaktur Harian Suara Merdeka itu.

Pengacara publik dari LBH Semarang Fajar Muhammad Andhika, juga turut berorasi. Dia menegaskan bahwa kebebasan pers adalah penyangga utama negara demokrasi. “Jika negara melalui aparatnya berani melakukan kekerasan terhadap jurnalis, itu bukti bahwa demokrasi sedang dalam ancaman serius,” kata Dhika.

Sebagai simbol matinya demokrasi, peserta aksi menyalakan dupa di atas replika makam bertuliskan RIP Demokrasi dan menaburkan bunga di sekitarnya. Aksi berlangsung hingga pukul 18.30 WIB dan ditutup dengan pembacaan lima tuntutan oleh Sekretaris Jenderal AJI Semarang, Iwan Arifianto.

Berikut isi tuntutan tersebut:

1-Pecat aparat pelaku kekerasan terhadap jurnalis,

2-Ciptakan ruang aman bagi jurnalis dalam menjalankan tugas,

3-Tuntut aparat patuh pada Undang-undang Pers,

4-Kapolri diminta bertanggung jawab atas kekerasan yang dilakukan anak buahnya,

5-Perusahaan media harus melindungi jurnalis korban kekerasan.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Direktur Eksekutif Anatomi Indonesia: Usut Dugaan Tambang Ilegal Maluku Utara

Diskusi publik membahas mafia tambang yang digelar di Kantor Rumah Pro Demokrasi, Jakarta, Jumat, 15 November 2025. (Foto: Dok....

Berita Terkait