Jurnalis Asal Indonesia di Amerika Serikat Ikut Melawan Trump yang Menyerang Media

Harus Baca

KORANBOGOR.com-Jurnalis Voice of America (VOA) asal Indonesia, Patsy Widakuswara, sedang berlindung dari bom di Kyiv, Ukraina, saat pertama kalinya mendengar berita jika jaringan media yang pro-Trump akan menyediakan konten untuk VOA.

Ini terjadi bulan Mei lalu, ketika Patsy, yang juga Kepala Biro Gedung Putih VOA sedang melakukan perjalanan ke Ukraina untuk menghadiri forum keamanan dan menjadi panel dalam diskusi soal kebebasan media.

VOA, yang didirikan dan didanai oleh pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1942, dibungkam sejak bulan Maret ketika pemerintahan Trump memangkas pendanaannya.

Lembaga pemerintah yang menaungi VOA, yaitu US Agency for Global Media (USAGM), disebut sebagai “kerusakan dan beban berat bagi pembayar pajak Amerika,” oleh Kari Lake, penasihat senior Presiden Trump saat itu.

Para kritikus menganggap penutupan layanan VOA sebagai “hadiah besar bagi musuh-musuh Amerika”.

Keputusan itu juga dianggap melemahkan VOA secara signifikan, padahal layanannya bisa menjangkau sekitar 360 juta orang  setiap pekan, dengan berita-berita yang diterjemahkan ke dalam 49 bahasa dan disiarkan ke luar negeri.

Awal bulan ini, VOA menghadapi “serangan” kedua ketika harus menerima konten berita dari One America News Network (OAN).

Kari mengatakan OAN, yang juga dijuluki “suara Trump”, menawarkan konten-kontennya secara gratis.

Menurutnya, ini menjadi “keuntungan besar” bagi para pembayar pajak.

Sebaliknya, VOA memiliki kebijakan editorial yang mewajibkannya untuk menyajikan berita yang faktual, seimbang, dan menyeluruh.

Bagi Patsy, membaca berita soal rencana OAN  yang akan membagikan konten di VOA, saat ia sedang berlindung dari ancaman bom Rusia, terasa seperti sesuatu yang “tidak nyata”.

Ia merasa seolah-olah sedang menghadapi “ancaman dari tembakan musuh, baik secara harfiah dan kiasan.”

“Inilah saya, bekerja untuk sebuah media, yang dibentuk untuk melawan propaganda Nazi dan menjadi alat yang kuat selama Perang Dingin, kini justru sedang diserang,” katanya.

“Bukan oleh musuh kami, tetapi oleh pemerintah kami sendiri [Amerika Serikat].”

Para pengamat media memperingatkan jika keputusan untuk menyatukan OAN dan VOA dapat mendistorsi siaran VOA dan menguntungkan musuh-musuh Amerika di negara-negara dengan pemerintahan otoriter.

Sebuah laporan terbaru dari seorang jurnalis VOA yang sedang mengambil cuti administratif menyebutkan para pekerja yang tersisa di VOA belum menggunakan konten dari OAN.

Ia juga mengatakan berita yang diterbitkan VOA sejak kesepakatan tersebut tetap independen, berbasis fakta, dan seimbang.

Ini adalah salah satu dari berbagai upaya yang dilakukan oleh para jurnalis untuk melawan dan  Donald Trump yang ingin memangkas dan mengendalikan media di negaranya.

“Pers yang bebas adalah fondasi demokrasi. Tanpa pers yang bebas, masyarakat tidak dapat membuat keputusan yang tepat tentang pemerintahan mereka,” kata Patsy.

Tanpa pers yang bebas, siapa yang akan mengawasi kekuasaan?”

Tiongkok meningkatkan siarannya

Pemangkasan anggaran yang dialami VOA pada bulan Maret merupakan bagian dari keputusan pemerintah Trump untuk memangkas anggaran USAGM hingga batas minimum yang diwajibkan oleh undang-undang.

USAGM kemudian menghentikan pendanaan untuk lembaga media lain yang berada di bawah naungannya, termasuk Radio Free Asia (RFA).

Pemangkasan ini memicu berbagai kasus hukum, termasuk yang diajukan oleh RFA, sebuah lembaga media nirlaba yang berbasis di Washington dan menyediakan berita tanpa sensor kepada hampir 60 juta orang yang hidup di bawah rezim represif di Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Laos, Kamboja, dan Myanmar.

RFA baru-baru ini memenangkan putusan pengadilan yang memungkinkannya menunda pemutusan hubungan kerja terhadap lebih dari 250 staf pada bulan Mei.

Meskipun lembaga tersebut sudah menerima pendanaan untuk bulan April, mereka belum menerima pencairan dana untuk bulan Mei.

Kepala eksekutif RFA, Bay Fang, mendesak pemerintah Amerika Serikat untuk memberikan dana kepada RFA “secara tepat waktu dan konsisten” agar RFA dapat “kembali beroperasi secara penuh.”

“Seiring berlarut-larutnya proses ini, jelas Tiongkok segera mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh mundurnya Amerika dari ruang informasi di kawasan Asia-Pasifik dan sekitarnya,” tambahnya.

Saat RFA mengurangi siaran gelombang pendek, Tiongkok justru “meningkatkan” siarannya di media-media yang dijalankan pemerintahannya, menurut analisis RFA.

Siaran RFA turun dari 60 menjadi hanya enam frekuensi antara Oktober 2024 hingga Maret 2025.

Pada periode yang sama, media pemerintah Tiongkok, Tiongkok Radio International, menambah 82 siaran, menurut analisis dari perusahaan pemantau media pihak ketiga, Encompass Digital Media.

“Mereka sebagian besar menargetkan audiens yang harus ditinggalkan oleh RFA: 26 dalam bahasa Tibet, 16 dalam bahasa Uighur, 12 dalam bahasa Mandarin, dan dua dalam bahasa Korea.

“Dua dari siaran tersebut, satu dalam bahasa Uighur dan satu dalam bahasa Tibet, menggunakan frekuensi yang sebelumnya digunakan oleh RFA,” demikian isi analisis tersebut.

Ketika pendanaan untuk RFA dipotong, rezim otoriter termasuk media yang didukung Tiongkok merayakannya.

Sementara para aktivis dan analis memperingatkan hal ini akan menciptakan “kekosongan informasi” yang dapat diisi oleh layanan dari Rusia atau Tiongkok.

Jurnalis di pengasingan angkat suara

Gulchehra Hoja, seorang pegawai RFA yang sedang dirumahkan, sangat memahami pertarungan antara kebebasan media dan pesan yang dikendalikan negara.

Sebagai seorang jurnalis Uighur yang hidup dalam pengasingan di Amerika Serikat, Gulchehra sudah bekerja untuk layanan bahasa Uighur RFA selama 24 tahun.

Laporannya banyak mengungkap pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah Tiongkok dan telah memenangkan berbagai penghargaan.

Gulchehra mengatakan siaran berbahasa Uighur di RFA sudah menjadi “rumah” baginya. 

Ia juga mengaku bangga atas pekerjaannya, namun ia “membayar harga yang sangat mahal.”

“Karena pekerjaan saya, keluarga saya hidup di bawah ancaman Partai Komunis Tiongkok selama lebih dari 20 tahun. Setelah saudara laki-laki saya diculik pada September 2017, pada akhir Januari 2018, 24 anggota keluarga saya ditahan di kamp-kamp internal,” katanya.

Beberapa dari mereka, katanya, masih berada di kamp dan penjara hingga hari ini.

Gulchehra mengaku khawatir akan keselamatan keluarganya, tetapi tidak akan “berhenti menjadi suara bagi rakyat Uighur.”

Tiongkok menolak semua tuduhan pelanggaran terhadap warga Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya di Xinjiang.

Jurnalis menghadapi ancaman pembalasan

Di saat staf RFA masih berada dalam ketidakpastian, hampir 1.300 staf VOA ditempatkan dalam cuti berbayar pada bulan Maret, termasuk Patsy Widakuswara.

Sebanyak 600 pekerja kontraktor VOA lainnya akan diberhentikan pada akhir Mei.

Sekitar 50 dari mereka memegang visa Amerika Serikat yang terikat pada pekerjaan mereka. 

Tanpa pekerjaan, mereka bisa dipaksa kembali ke negara asal, di mana mereka bisa menghadapi “pembalasan” atas laporan jurnalistik mereka, kata Patsy.

Keputusan pengadilan banding federal yang mendukung pemangkasan besar-besaran terhadap VOA oleh pemerintahan Trump diumumkan beberapa waktu lalu. 

Tapi para jurnalis yang terlibat dalam kasus tersebut menyatakan di platform X jika mereka tetap “berkomitmen untuk memperjuangkan hak-hak mereka.”

Hanya sekelompok kecil staf yang tersisa di VOA dan kini konten dari One America News Network (OAN) menjadi satu-satunya sumber layanan berita mereka.

Media di seluruh dunia biasanya memiliki kontrak dengan layanan berita seperti Reuters dan Associated Press, kantor berita yang mengumpulkan dan menyediakan konten orisinal berbasis fakta yang dapat diterbitkan ulang.

“Saya tidak bisa memaksa media-media ini untuk menggunakan berita tersebut, tapi saya bisa menawarkannya kepada mereka, dan itulah yang kami lakukan,” kata Kari Lake, penasihat Trump.

OAN tidak menanggapi permintaan komentar dari ABC, dan di situs webnya menyatakan jika mereka adalah “perusahaan media independen yang berfokus pada penyediaan program televisi nasional berkualitas tinggi.”

Profesor di bidang jurnalistik, Colleen Murrell dari Dublin City University di Irlandia, mengatakan keputusan untuk menggunakan OAN sebagai layanan penyedia konten VOA adalah keputusan yang “sepenuhnya politis.”

“One America News hanya akan mengikuti garis kebijakan pemerintah AS. Anda bisa mengharapkan isinya tidak jauh berbeda dari siaran humas pemerintah,” kata Profesor Murrell.

Keputusan ini akan sepenuhnya membelokkan berita yang disiarkan melalui layanan tersebut.”

Profesor Murrell memperingatkan perubahan terhadap konten VOA akan “menguntungkan musuh-musuh layanan ini di negara-negara otoriter dengan kebebasan media yang buruk.”

Menurut analisis dari Lowy Institute, VOA adalah lembaga penyiaran radio yang “paling dicari” di Asia pada tahun 2024 dengan “selisih yang cukup besar.”

Kamboja, Vietnam, dan Myanmar termasuk di antara negara-negara, di mana VOA menjadi yang paling populer.

Pengamat media di CNN, Brian Stelter, yang tidak tersedia untuk diwawancarai untuk artikel ini, menggambarkan jaringan OAN sebagai “saluran propaganda MAGA.”

Brian pernah menulis jika OAN adalah “saluran TV sayap kanan yang amatiran dan paling dikenal karena menyebarkan kebohongan Trump tentang pemilu 2020” dan memiliki “akses terhadap konten OAN adalah langkah besar menuju perubahan Voice of America menjadi Voice of Trump.”

USAGM dan VOA tidak menanggapi permintaan komentar.

Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari laporan ABC News.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Pergeseran Administratif Empat Pulau Aceh ke Sumatera Utara Dinilai Khianati Rakyat Aceh

Foto: Juru Bicara Mualem Center Banda Aceh Fakhrurazi Zulkifli ) KORANBOGOR.com,BANDA ACEH-Pergeseran wilayah administratif empat pulau, yakni Pulau Panjang, Mangkir...

Berita Terkait