Erotika Feminin – LIFEs 2023

Harus Baca

KORANBOGOR.com, JAKARTA – Erotika Feminin sukses digelar Selasa lalu (08/08), bertepatan dengan hari jadi Komunitas Salihara yang ke-15. Erotika Feminin yang secara literal merupakan alusi dari istilah Écriture Féminine atau penulisan perempuan diperkenalkan oleh pemikir Prancis Hélène Cixous. Erotika Feminin merupakan sebuah bentuk perayaaan untuk membicarakan serta mengeksplorasi mengenai hasrat, ketubuhan, dan seksualitas lewat pembacaan karya-karya dari para penulis Prancis ternama, dibawakan dengan sangat baik oleh aktris tanah air secara berurutan: Asmara Abigail, Elghandiva Astrilia, Sri Qadariatin, dan Sha Ine Febriyanti. Dalam keterbatasan yang dimiliki oleh seni, Ayu Utami–Direktur LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2023 dan Kurator Sastra Komunitas Salihara–memaparkan bahwa seni dapat berkembang menjadi begitu luas lewat pengalaman-pengalaman yang beragam.

“Seni dalam keterbatasannya, mengajak kita mengalami pengalaman-pengalaman yang bisa saja ironis, paradoxical, gelap, mengandung tegangan antara rasa nikmat dan rasa sakit, antara eros dan thanatos, antara dorongan bersetubuh dan dorongan untuk bunuh membunuh.” 

Pembacaan dibuka oleh Asmara Abigail membacakan fragmen dari karya Anaïs Nin yang berjudul Delta of Venus (1977). Dalam karya tersebut Anaïs menceritakan kisah Marianne, seorang penulis dan pelukis yang menceritakan pengalaman erotisnya dalam mengagumi model lelaki. mulai dari garis-garis tubuh hingga lingga yang menarik perhatian Marianne. Yang menariknya, Asmara membawa pembacaan ini dengan menggabungkan dua bahasa Indonesia-Prancis sehingga menambah hidup teks yang ia bacakan. 

Asmara Abigal menjadi pembuka dalam Erotika Feminin membawakan fragmen dari Delta of Venus karya Anaïs Nin 
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

Selanjutnya penonton dibawa untuk mendengarkan kisah dari Marguerite Duras–seorang penulis Prancis abad 20–tentang percintaan dua kekasih dari fragmen yang berjudul The Lover (1984). Pembacaan ini dibacakan oleh Elghandiva Astrilia; aktris yang juga merupakan alumni Kelas Akting Salihara. Pembacaan ini menceritakan sebuah kisah dengan penggambaran aksi bercinta yang begitu membara dan hasrat bercinta yang penuh ekstasi hingga meminta lagi, lagi, dan sekali lagi di atas sebuah kapal feri.

Pembacaan ini menggunakan teknik muncul aktor satu-persatu di panggung setelah cahaya lampu gelap. Pada aktor ketiga, ia dimunculkan dengan adegan duduk di lantai, tepat di tengah panggung. Aktor tersebut adalah Sri Qadariatin–akrab dipanggil Uung– membacakan fragmen dari kisah Annie Ernaux dengan judul Getting Lost (2001). Ini adalah fragmen kronologis antara seorang diplomat Rusia dengan kekasih gelapnya yang mengambil sudut pandang Aku. Dengan jelas diceritakan bagaimana mereka bertemu, dan membuat catatan lengkap tentang tanggal pertemuan dan apa yang mereka lakukan. Uung membawakan pembacaan dengan suasana yang begitu dinamis, menghadirkan beragam emosi; bahkan di tengah pembacaan erotis ini, terselip komedi yang memantik tawa penonton saat tokoh Aku mendeskripsikan fisik dari istri sah tokoh diplomat dengan nada cemburu.

Sri Qadariatin saat membawakan fragmen Getting Lost karya Annie Ernaux 
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

Pembacaan fragmen ini ditutup oleh penampilan Sha Ine Febriyanti atau Ine membawakan potongan dari buku Story of O (1954) oleh Pauline Riash. Sebuah kisah submisif dari seorang tokoh bernama O dan kekasihnya yang menjual O kepada teman-teman sang kekasih. Ine menguasai panggung dengan baik, membacakan fragmen ini dengan melihat ke berbagai arah. Bahkan suaranya menggelegar saat ia naik ke atas sebuah kotak dan membacakan khotbah yang mengulang ucapan teman sang kekasih kepada O. Ia menyebutkan secara dominan bagaimana O harus bertindak dan menanggalkan segala pekerjaan saat “mereka” membutuhkan tubuh O.

Pertunjukan dengan durasi kurang lebih 1 jam ini disaksikan oleh ratusan mata yang memenuhi Teater Salihara; merayakan malam paling erotis di LIFEs 2023. Riuh tepuk tangan selalu terdengar setiap akhir pembacaan. Ditutup dengan penyerahan bunga dariAyu Utami dan Goenawan Mohamad (Pendiri Komunitas Salihara) kepada empat penampil yang telah memberikan persembahan terbaik mereka di Selasa malam.

Penyerahan bunga oleh Ayu Utami dan Goenawan Mohamad kepada penampil Erotika Feminin
Dok. Komunitas Salihara/Witjak Widhi Cahya

Tentang Penampil

Asmara Abigail adalah artis yang aktif sejak 2015. Tumbuh di Jakarta, ia terobsesi dengan film dan fesyen sejak kecil. Asmara mendapatkan gelar masternya dalam bisnis fesyen di Milan, dan bekerja secara profesional sebagai aktris di industri film. Ia mendapatkan banyak penghargaan, di antaranya Macao International Film Festival & Awards 2019 dan penerima Variety Magazine Asian Stars: Up Next bersama dengan tujuh aktor dan aktris lainnya di seluruh Asia. Pada Desember 2022, ia memenangi Penjor Award for Southeast Asian Feature Best Actress ketika berperan sebagai Zahara dalam Stone Turtle yang disutradarai oleh Woo Ming Jin di Bali Makarya Film Festival 2022 dengan Benjamin Illos—pemrogram di Cannes Quinzaine des Réalisateurs sebagai salah satu juri.

Elghandiva Astrilia adalah seorang seniman multidisiplin yang berbasis di Jakarta yang bekerja dengan seni performans, tari, suara dan desain grafis. Elgha meraih gelar MA dalam Praktik Seni Kontemporer (Performans) dari Royal College of Art, London. Elgha juga menggagas Rasasastra, sebuah kolektif seni dan kuratorial, dan anggota Moksa Soundsystems, sebuah band eksperimental yang menggabungkan tradisi Asia Tenggara dengan suara elektronik. Saat ini, dia adalah anggota fakultas di Fakultas Desain Universitas Bina Nusantara (BINUS), Jakarta.

Sha Ine Febriyanti adalah pekerja seni, aktris teater, film dan sutradara Indonesia yang mengawali karir sebagai model pada 1992. Pada 1999 ia merambah dunia seni peran dan teater saat mendapat kepercayaan memerankan Miss Julie. Pada 2014-2015 menggarap kisah Cut Nyak Dien ke dalam teater monolog yang disutradarai dan diperankannya sendiri serta dipentaskan di beberapa kota termasuk Banda Aceh. Ia pernah mewakili Indonesia pada Festival Teater Internasional di Gori, Georgia. Di bidang film, ia mendapat beasiswa Asian Film Academy di Busan, Korea Selatan, 2012 dan menyutradarai Tuhan Pada Jam 10 Malam. Bersama beberapa relawan, sejak 2012 mendirikan Huma Rumil sebagai wadah kreatif untuk berbagi, belajar, dan bermain bersama dalam bentuk seni pertunjukan, film, seni rupa, dan kegiatan sosial melalui media seni. Kini Huma Rumil dikembangkan menjadi kantong budaya di bilangan Jagakarsa Selatan dan terbuka untuk siapa untuk berbagi melalui media seni. 

Sri Qadariatin memulai karier di dunia seni pertunjukan saat bergabung dengan Teater Garasi/Garasi Performance Institute pada 1996 dan terlibat dalam beberapa karya, salah satunya pada Yang Fana Adalah Waktu Kita Abadi (2016). Ia terlibat dalam beberapa  produksi Titimangsa Foundation yaitu Perempuan Perempuan Chairil (2017), Nyanyi Sunyi Revolusi (2019), dan sebagai penata gerak kelompok paduan suara dalam Musikal Inggit Garnasih (2022). Dua karya penyutradaraan terbarunya adalah Aku Ingin: Myristica Fragrans and Other Tales (2021) dan Mirah (2023).

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Berita Terbaru

Buntut Kasus Pemerasan Penonton DWP, Kapolda Metro Jaya Lakukan Mutasi Besar-besaran

KORANBOGOR.com,JAKARTA-Dampak kasus pemerasan penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) di JI Expo Kemayoran yang dilakukan 18 oknum polisi, Kapolda Metro Jaya...

Berita Terkait