KORANBOGOR.com,PAPUA-Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua mencatat sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Bumi Cenderawasih yang dilakukan oleh pemerintah dan aparat Polri.Pertama,terkait Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus (Otsus). Direktur LBH Papua Emanuel Gobay mengatakan ada banyak turunan dalam kebijakan itu.
Salah satunya soal daerah otonomi baru (DOB) yang dinilai dibentuk sesuai keinginan pemerintah.
“Sekalipun banyak kebijakan yang dibuat, tapi kemudian hanya memuatkan praktek militerisme yang tujuannya untuk merumuskam kepentingan ekonomi politik yang dicanangkan pemerintah baik nasional maupun di luar, yang pada prakteknya memarginalkan orang Papua dari wilayah adatnya dan hanya melahirkan lahan baru terjadi praktek pelanggaran HAM di daerah otonomi baru,” kata Emanuel dalam diskusi daring, Jumat, 8 Desember 2023.
Selanjutnya,Emanuel mengaku juga mencatat kasus pelanggaran HAM selama 2023 dalam konteks kebebasan berkumpul dan berserikat serta berkespresi.
Menurut dia,mayoritas pada prakteknya mengalami pembungkaman ruang demokrasi baik di Papua,Jayapura maupun Sorong,hingga Merauke pada November 2023.
“Dalam analisa pola dan aktor,kami melihat dalam kebebasan berkumpul dan berekspresi aktor yang menghambat adalah oknum polisi dengan menggunaka politik,mengartikan pemberitahuan menjadi izin.
Sehingga, kemudian itu dimainkan oleh mereka dan berdampak kepada dibungkamnya demokrasi dengan alasan tidak ada izin,” ungkap Emanuel.
Lalu,ada pula kasus pelanggaran HAM dalam konteks perempuan dan anak. Emanuel mengatakan terjadi peningkatan praktek kekerasan terhadap perempuan, bukan hanya di wilayah domestik maupun juga wilayah publik serta di wilayah konflik bersenjata.
“Yang dilupakan pemerintah dan tidak ada perlindungan khusus bagi perempuan dan anak di wilayah konflik yang hri ini tinggal di kamp-kamp pengungsian,” ujar Emanuel.
Terlebih, Emanuel menyebut Komisi Nasional (Komnas) Anak dan Komnas Perempuan tidak serius melakukan perlindungan.
Alhasil, dua perempuan pengungsi di Yahukimo menjalani kekerasan seksual dan pembunuhan saat kembali ke kebun dari pengungsian untuk mengambil makanan.
Emanuel menegaskan kasus pembunuhan dan kekerasan seksual itu tidak ditangani hingga tuntas oleh Polsek,Polsek Kabupaten Yahukimo,termasuk Polda Papua.
Begitu pula Komnas Perempuan dan Komnas HAM yang disebut belum ada sikap apapun terkait kasus ini.
“Tapi ini menjadi fakta baru ada kekerasan kepada perempuan di daerah konflik bersenjata yang dibiarkan begitu saja tanpa ada kepastian hukum bagi pelaku dan juga kepastian hak atas keadilan bagi kedua korban,” ucapnya.
Kemudian, ada pula pelanggaran dalam konteks buruh. Emanuel menyebut ada 8.300 buruh PT Freeport yang melakukan mogok kerja dari 2017 sampai saat ini.Namun,belum ada jawaban apapun dari pemerintah maupun PT Freeport.
Tak kalang pelik adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan-perusahaan sawit. Bahkan, kata Emanuel, manajemen perusahaan sawit tersebut bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengkriminalisasi yang berujung PHK sepihak.
“Selain itu, kami juga temukan fakta buruh bekerja dengan alat pelindung diri (APD) yang kurang.
Sehingga mengalami kecelakaan kerja sebagaimana yang dialami salah satu perempuan yang menjadi buruh sawit di patok ular dan meninggal di salah satu perusahaan sawit yang ada di tanah Papua,” beber dia.
Terakhir, kasus pelanggaran HAM perampasan tanah. Emanuel mengatakan pihaknya menemukan banyak izin yang diberikan tanpa melibatkan masyarakat adat.
Sehingga, kata Emanuel, berdampak pada praktik perampasan tanah secara sistematik dan struktural, yang dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan pihak yang akan mengggunakan tanah itu,” tutur Emanuel